Budapest Convention on Cybercrime dan Keterkaitannya dengan Sistem Hukum di Indonesia

Disusun oleh :Dewi Khansa Salsabila, Yuniar Trias Fatimah, Winda Sawitri, Dana Aprillia, Helda

Sistem hukum di Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat dan hukum negara eropa terutama belanda yang merupakan bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Maka Belanda banyak mewariskan sistem hukum di Indonesia. Salah satu sejarah hukum belanda yang terdapat di Indonesia yaitu periode kolonialisme pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan pada saat itu bertujuan untuk keperluan eksploitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di Belanda, melakukan pendisiplinan pada rakyat Indonesia dengan sistem otoriter dan perlindungan untuk orang-orang VOC seperti para imigran eropa. Politik dan pemerintahan pada saat itu tidak mempedulikan hak-hak dasar rakyat Indonesia.
Konvensi budapest atau disebut konvensi kejahatan cyber adalah kesepakatan atau perjanjian internasional pertama yang mempunyai tujuan untuk mengatasi kejahatan komputer dan internet dengan melakukan harmonisasi hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama antar negara. Beberapa negara telah ikut serta dalam konvensi yang bernaung dalam Uni Eropa di Strasbourg, Perancis. Konvensi Budapest di selenggarakan di kota Budapest, Hongaria pada tanggal 23 November 2001 oleh Uni Eropa(Council Of Europe, 2001).

A.    Pornografi
Dalam konvensi budapest, judul 3- Pelanggaran yang berkaitan dengan isi berisi:
Pasal 9 – Pelanggaran yang berkaitan dengan pornografi anak
1.      Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana: secara sadar dan tanpa hak melakukan perilaku-perilaku di bawah ini:
a.       Memproduksi pornografi anak dengan maksud untuk di sebarluaskan melalui sistem komputer;
b.      Menawarkan atau menyediakan pornografi pada anak melalui sistem komputer;
c.       Mendistribusikan atau menyebarluaskan pornografi anak melalui sistem komputer;
d.      Menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer untuk diri sendiri atau orang lain;
e.       Memiliki pornografi anak di sebuah sistem komputer atau di dalam media penyimpan data komputer.
2.      Untuk tujuan paragraf 1 di atas, terminologi “pornografi anak” perlu memasukkan materi pornografi yang secara visual menunjukkan:
a.       Seorang anak di bawah umur melakukan hubungan seksual secara jelas;
b.      Seseorang yang tampak seperti anak di bawah umur melakukan hubungan seksual secara jelas
c.       Gambar yang secara nyata menunjukkan seorang anak kecil melakukan hubungan seksual secara jelas.
3.      Untuk tujuan paragraf 2 di atas, terminologi “di bawah umur” berarti semua orang di bawah umur 18 tahun. Pihak Negara boleh menetapkan batas umur yang lebih rendah namun tidak boleh lebih rendah dari 16 tahun.
4.      Pihak Negara berhak untuk tidak menerapkan seluruh atau sebagian dari paragraf 1, sub-paragraf d dan e, dan 2, sub-paragraf b dan c.

Sistem hukum di Indonesia telah mengatur hukum mengenai pornografi yaitu:
                                                      a.            Undang-undang No.23 tahun 2003 sebagai berikut:
                                                                                i.            Pasal 81
1.      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun dan paling singkat 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00(enam puluh juta rupiah).
2.      Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
                                                                              ii.            Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau sosial anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah).
                                                      b.            Undang-Undang No.44 tahun 2008
1.      Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengeskpor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 12(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00(tiga miliar rupiah).
2.      Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00(dua miliar rupiah).
3.      Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama4(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00(dua miliar rupiah).
                                                       c.            Undang-undang Republik Indonesia No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1.      Pasal 74
(1)   Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2)   Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat(1) meliputi:
a.       Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b.      Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian;
c.       Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d.      Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3)   Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana di-maksud dalam ayat(2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
2.      Pasal 183
(1)   Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah).
(2)   Tindak pindana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
                                                      d.            Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No. 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
1.      Pasal 4
(1)   Jenis situs internet bermuatan negatif ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a yaitu:
a.       Pornografi; dan
b.      Kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat(1) hurufb merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementrian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      Pasal 5
(1)   Masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk meminta pemblokiran atas muatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal.
(2)   Kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat meminta pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Direktur Jenderal.
(3)   Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif sesuai dengan kewenangannya kepada Direktur Jenderal.
(4)   Masyarakat dapat melaporkan situs internet bermuatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b kepada kementerian atau lembaga pemerintah terkait.

B.     Hak Cipta
Dalam konvensi budapest, judul 4-Pelanggaran yang berkaitan dengan hak cipta dan hak-hak terkait lainnya berada pada Pasal 10 yaitu:
1.      Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana: pembajakan hak cipta, sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang Pihak Negara tersebut, mengikuti kewajiban-kewajiban yang telah di terima menurut Paris Act 24 Juli 1971 yang merevisi Konvensi Bern untuk Perlindungan Karya Sastra dan Karya Artistik, Kesepakatan Mengenai Aspek-aspek Hak Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan dan Perjanjian Hak Cipta WIPO, dengan pengecualian segala jenis hak-hak moral yang dimaksudkan oleh konvensi-konvensi tersebut, dimana perilaku-perilaku tersebut dilakukan dengan sengaja, pada skala komersil dan melalui sistem komputer.
2.      Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana: pelanggaran dari hak-hak terkait, sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang pihak tersebut, mengikuti kewajiban-kewajiban yang telah diterima dalam Konvensi Internasional untuk Perlindungan Pemain dan Produser dari Fonogram dan Organisasi Penyiaran (Konvensi Roma), Kesepakatan mengenai Aspek-aspek Hak intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan dan Perjanjian Hak Cipta WIPO, Perjanjian Penampilan dan Fonogram, dengan pengecualian segala jenis hak-hak moral yang diterapkan oleh konvensi-konvensi tersebut, dimana perilaku-perilaku tersebut dilakukan dengan sepenuh hati, pada skala komersil dan melalui sistem komputer.
3.      Pihak Negara berhak untuk tidak menerapkan konsekuensi hukum di dalam paragraf 1 dan 2 dari pasal ini pada keadaan-keadaan tertentu, selama cara-cara efektif lainnya tersedia dan Kekhususan tersebut tidak menyimpang dari kewajiban internasional pihak tersebut yang dimuat dalam instrumen-instrumen internasional yang dimaksudkan dalam paragraf 1 dan 2 pasal ini.
Sistem hukum di Indonesia telah mengatur hukum mengenai hak cipta dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta:
1.      Pasal 7
(1)   Informasi manajemen Hak cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi informasi tentang:
a.       Metode atau sistem yang dapat mengidentifikasi originalitas substansi Ciptaan dan Penciptanya; dn
b.      Kode informasi dan kode akses.
(2)   Informasi elektronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi informasi tentang:
a.       Suatu Ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman Ciptaan;
b.      Nama pencipta, aliasnya atau nama samarannya;
c.       Pencipta sebagai Pemegang Hak Cipta;
d.      Masa dan kondisi penggunaan Ciptaan;
e.       Nomor; dan
f.       Kode informasi.
(3)   Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan informasi elektronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat(2) yang dimiliki Pencipta, dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak.
2.      Pasal 9
(1)   Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a.       Penerbitan Ciptaan;
b.      Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.       Penerjemahan Ciptaan;
d.      Pengadaptasian, pengaransemenan atau petransformasian Ciptaan;
e.       Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.       Pertunjukan Ciptaan;
g.      Pengumuman Ciptaan;
h.      Komunikasi Ciptaan; dan
i.        Penyewaan Ciptaan.
(2)   Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
(3)   Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Pengunaan Secara Komersial Ciptaan.
3.      Pasal 10
Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.
4.      Pasal 12
(1)   Setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian dan/atau komunikasi atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang di potret atau ahli warisnya.
(2)   Penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian dan/atau komunikasi Potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat potret 2 (dua) orang atau lebih, wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam Potret atau ahli warisnya.
5.      Pasal 23
(1)    Pelaku Pertunjukan memiliki hak ekonomi.
(2)    Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan
sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan:
a. Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan;
b. Fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi;
c. Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun;
d. Pendistribusian atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya;
e. penyewaan atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik; dan
f. penyediaan atas Fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik.
(3)    Penyiaran atau Komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak berlaku terhadap:
a. hasil Fiksasi pertunjukan yang telah diberi izin oleh Pelaku Pertunjukan; atau
b. Penyiaran atau Komunikasi kembali yang telah diberi izin oleh Lembaga Penyiaran yang pertama
kali mendapatkan izin pertunjukan.
(4)    Pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tidak berlaku terhadap karya pertunjukan yang telah difiksasi, dijual atau dialihkan.
(5)    Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.


6.      Pasal 24
(1)   Produser Fonogram memiliki hak ekonomi.
(2)   Hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan:
a. penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun;
b. pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya;
c. penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan
d. penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.
(3)   Pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak berlaku terhadap salinan Fiksasi ataspertunjukan yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikannya oleh Produser Fonogram kepada pihak lain.
(4)   Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat wajib mendapatkan izin dari Produser Fonogram.
7.      Pasal 25
(1)   Lembaga Penyiaran mempunyai hak ekonomi.
(2)   Hak ekonomi Lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan:
a. Penyiaran ulang siaran;
b. Komunikasi siaran;
c. Fiksasi siaran; dan/atau
d. Penggandaan Fiksasi siaran.
(3)   Setiap Orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.
8.      Pasal 87
(1)   Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
(2)   Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
(3)   Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.
(4)   Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna
9.      Pasal 88
(1)   Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri.
(2)   Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.       berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
b.      mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak  Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
c.       memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
d.      bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan
e.       mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
(3)   Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.
Ketentuan Pidana
1.      Pasal 112
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2.      Pasal 113
(1)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4)   Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
3.      Pasal 114
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4.      Pasal 115
Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektonik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
5.      Pasal 116
(1)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4)   Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
6.      Pasal 117
(1)   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2)   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)   Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
7.      Pasal 118
(1)   Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)   Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d yang dilakukan dengan maksud Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
8.      Pasal 119
Setiap Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) dan melakukan kegiatan penarikan Royalti dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

C.     Terorisme
Cyber Crime Terorrism dapat disebut juga sebagai tindak kejahatan di bidang komputer yang menggunakan teknologi komputer sebagai senjata utama dan terjadi di dunia maya. Namun seiring dengan perkembangan ilmu teknologi saat ini sudah banyak cara-cara pencegahan dan penaggulangan untuk kasus cyber crime sehingga kegiatan di dunia maya dapat berjalan dengan baik tanpa ada rasa khawatir.
Pemerintah Indonesia sendiri baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah megeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada 2 tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Maka obyek kajian ini di focuskan pada pendekatan-pendekatan Hukum yang di titik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan revisi UU No. 15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku Terorisme.

D.    Fraud
Computer related Fraud: Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak menyebabkan hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan, mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya komputer/sistem komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain).
Dalam konvensi Budapest, pemalsuan ini diatur dalam pasal 8. Dalam pasal ini disebutkan bahwa melakukan suatu tindakan dengan sengaja yang mengakibatkan kehilangannya harta dari pihak lain karena penginputan, perubahan, penghapusan, atau penyembunyian data komputer dan setiap gangguan terhadap fungsi dari suatu sistem komputer merupakan tindakan kriminal.
Sistem hukum di Indonesia terkait dengan Fraud, terdapat pada PP tentang Fraud dan perlakuan hukum pelaku cybercrime(fraud) jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).

Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di IndonesiaSebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime.

Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.

E.     Payung Umum
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada payung umum yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
1.      PM Tahun 2016 : Perlindungan Data
Segala hal terkait  keamanan dan perlindungan data pribadi warga negara telah diatur dalam sebuah peraturan dalam Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem elektronik. Perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik dilakukan pada proses perolehan dan pengumpulan, pengolahan dan analisis, penyimpanan, penampilan, pengumuman pengiriman, penyebarluasan dan pembukaan akses serta pemusnahan. Salam satu penting dalam permen tersebut adalah tentang kewajiban penggunaan sistem elektronik yang sudah bersertifikat.
Lingkup permen perlindungan data pribadi ini mencakup bebeapa perlindungan terhadap perolehan, penumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pungumaman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusanahan data pribadi, sebagaimana yang di atur dalam pasal 2 ayat (1) Permen PDP.
2.      PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
PP setebal 41 halaman yang berisikan 90 pasal ini mengatur antara lain: a. Penyelenggaraan Sistem Elektronik; b. Penyelenggaraan Transkasi Elektronik; c. Tanda Tangan Elektronik; d. Penyelenggaraan Sertfikasi Elektronik; e. Lembaga Sertifikasi Kendalan; dan f. Pengelolaan Nama Domain.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dilaksanakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik, yang dapat dilakukan untuk pelayanan publik dan non pelayanan publik. Khusus untuk penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib melakukan pendaftaran , yang harus dilakukan sebelum Sistem Eketronik mulai digunakan publik. Sementara untuk non pelayanan publik hanya diberi ketentuan dapat melakukan pendaftaran.
Disebutkan dalam PP itu, Penyelenggara Sistem Elektronik harus memiliki tenaga ahli yang kompeten di bidang Sistem Elektronik atau Teknologi Informasi. Khusus untuk Penyelenggara Sistem Elektronik yang bersifat strategis harus menggunakan tenaga ahli berkewarganegaraan Indonesia.
“Penyelenggara Sistem Elektronik wajib: a. Menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi yang dikelolanya; b. Menjamin bahwa perolehan, penggunaan, dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan persetujuan pemilik Data Pribadi; dan c. Menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik Data Pribadi tersebut,” bunyi Pasal 15 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 itu.
Disebutkan juga, bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyampaikan informasi kepada Pengguna paling sedikit mengenai: a. Identitas Penyelenggara Sistem Elektronik; b. Obyek yang ditransaksikan; c. Kelaikan atau keamanan Sistem Elektronik; d. Tata cara penggunaan perangkat; e. Syarat kontrak; f. Prosedur mencapai kesepakatan; dan g. Jaminan privasi dan/atau perlindungan Data Pribadi.
Pada pasal 34 PP tersebut disampaikan, bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik dapat menyelenggarakan sendiri Sistem Elektroniknya atau melalui Perwakilan Agen Elektronik. “Agen Elektronik wajib memuat informasi untuk melindungi hak pengguna, paling sedikit meliputi informasi tentang: a. Identitas penyelenggara Agen Elektronik; b. Objek yang ditransaksikan; c. Kelayakan atau keamanan Agen Elektronik; d. Tata cara penggunaan perangkat; dan e. Nomor telepon pusat pengaduan,” bunyi Pasal 35 Ayat (2) PP itu.
Penyelenggara Agen Elektronik itu wajib melakukan pendaftaran kepada Menteri Komunikasi dan Informatika.
Transaksi Elektronik
Mengenai  Penyelenggaraan Transaksi Elektronik, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 itu, disebutkan harus memperhatikan aspek keamanan, kendalaan, dan efisiensi; melakukan penyimpanan data transaksi di dalam negeri; memanfaatkan gerbang nasional, jika melibatkan lebih dari satu Penyelengara Sistem Elektronik; dan memanfaatkan jaringan Sistem Elektronik dalam negeri.
“Dalam hal gerbang nasional dan jaringan Sistem Elektronik belum dapat dilaksanakan, penyelenggara Transaksi Elektronik dapat menggunakan sarana lain atau fasilitas dari luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari Instansi pengawas dan pengatur sektor terkait,” bunyi Pasal 43 Ayat (2) PP tersebut.
“Pengelola Nama Domain dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, harus berbadan hukum, dan ditetapkan oleh Menteri,” bunyi Pasal 74 Ayat (1,2,3) PP No. 82/2012 itu.
Dijelaskan dalam PP itu, pendaftaran Nama Domain dilaksanakan berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Sedang Nama Domain yang mengindikasikan Instansi hanya dapat didaftarkan dan/atau digunakan oleh Instansi yang bersangkutan. “Instansi wajib menggunakan Nama Domain sesuai dengan nama Instansi yang bersangkutan,” bunyi Pasal 79 Ayat (2).
1.      3.      UU ITE
Adapun bentuk kejahatan cybercrime yang ada dalam Budapest Convention on Cyber Crime adalah :
1.     Content Illegal adalah kegiatan dengan memasukkan data dan informasi ke internet yang berisikan konten yang tidak baik dan melanggar hokum serta megganggu ketertiban hokum
2.      Illegal access adalah mengakses sistem computer tanpa izin dari pemiliknya.
3.     Illegal interception adalah kegiatan menangkap/mendengar pengiriman  dan pemancaran tanpa izin.
4.     Data interference adalah pengrusakan data tanpa izin. Ketentuan pengerusakan data menjadi tindak pidana bertujuan untuk memberikan perlindungan yang sama terhadap data computer sebagaimana dengan benda-benda berwujud.
5.     Sistem interference adalah kegiatan yang dilakukan dengan memasukkan, menyebarkan, merusak, menghapus atau menyembunyikan data computer sehingga mengganggu sistem.
6.     Missue of device adalah menyalahgunakan perlengkapan. Alat yang dimaksud adalah hardware maupun software yang telah di modifikasi untuk mendapatkan akses dari sebuah computer atau jaringan computer.
7.     Computer related offences, forgery and fraud yaitu kegiatan yang berkaitan dengan computer, pemalsuan, dan penipuan.
8.     Content-related offences, child pornography yaitu kegiatan yang berisikan pornografi anak.

9.     Offences related of infringements of copyrights yaitu kegiatan yang berhubungan dengan hak cipta.


Semua perbuatan dan jenis kejahatan cybercrime yang ada di dalam Budapest Convention o Cyber Crime semuanya telah di atur di dalam UU ITE No.11 tahun 2008. Berikut adalah tabel relevansi :

NO
Konvensi Budapest
UU ITE
1
Illegal Content
Pasal 27, 28, 29
2
Illegal Access
Pasal 30
3
Illegal Interception
Pasal 31
4
Data Interception
Pasal 32
5
System Interception
Pasal 33
6
Missue of Device
Pasal 34
7
Computer Related Fraud and Forgery
Pasal 35
8
Pornografi Anak
Pasal 27
9
Pelanggaran Hak Cipta
Pasal 25



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Teknologi Informasi (IT Policy)

Perbandingan antara model bisnis tradisional dan online/digital

TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN PELUANG BISNIS MAHASISWA